Sabtu, 08 Oktober 2011

Maaf, Bayanganku


Aku meringkuk diantara tembok bersiku, kudekap rapat-rapat lutuku. Kutepis segala bayang-bayang yang baru saja terjadi. Tadi bukanlah apa-apa! Tadi tidak terjadi sama sekali!! Batinku. Kuedarkan pandanganku keruangan gelap yang kosong ini, tidak, bukan kosong.. didalam ruangan ini hanya ada aku dan sebuah cermin yang mampu memantulkan bayangan orang yang berada didepannya dengan sempurna dan lihat.. bagaimana aku bisa mengatakan ruangan ini gelap?? Aku bahkan mampu melihat sekitarku walau sebatas remang-remang saja.
Aku berdiri perlahan mendekati cermin yang dari tadi membuatku penasaran. Aku berdiri tegak didepan cermin itu, terpantul bayanganku disana. Bayangan seorang perempuan remaja berambut pendek yang sedikit basah karena keringat dingin, kulitnya putih pucat, matanya memandang lurus menatapku.
Kulambaikan tanganku seolah menyapa si bayangan untuk memastikan bahwa itu memang bayanganku. Dan benar saja, segala gerakan dari tanganku selalu persis dengan si bayangan.
“Apa kau yang lakukan??” terdengar suara perempuan, hingga menghentikan aktifitasku. Beberapa saat aku mencoba mencari sumber suara itu, melihat sekeliling barangkali memang ada orang selain aku di ruangan ini.
“Kau sungguh bodoh!! Kau fikir kau adalah yang terhebat! Tidak! Kau lemah!!” suara itu terdengar lagi. Mataku terpaku melihat bayangan di cermin itu bergerak mendekat kearahku seperti hendak keluar dari cermin, sedang aku. Hanya berdiri disini tanpa mencoba untuk bergerak sedikitpun.
“Aku malu menjadi bayanganmu, kau tau itu??”
“Kau.. bukankah kau bayanganku, tapi bagaimana kau-“
“Huh.. lucu sekali. Aku memang bayanganmu. Tapi.. kurasa sebentar lagi. Aku bukanlah bayanganmu!” katanya sinis. Kini ia benar-benar keluar dari cermin dengan perlahan.
“Apa maksudmu?! Hentikan!!” kataku gemetar
“Bayangan hanyalah sebuah bayangan, aku lelah selalu mengikutimu, aku ingin bebas darimu.” Kini ia benar-benar berada didepanku, menyibak rambutku dan menyelipkannya di kuping kiriku. “Maafkan aku..” katanya lirih.
Dengan cepat ia mencekikku dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya yang sudah menggenggam pisau entah sejak kapan menusukkan pisau itu berkali-kali keperutku, aku menjerit tapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokanku, aku memukul-mukul badannya sebagai bentuk perlawananku. Semakin lama , aku semakin sulit bernafas, darah segar sudah membasahi pakaianku.
Tiba-tiba ia melepaskan tangannya yang ada dileherku, hingga membuatku jatuh. “Kau.. apa salahku?” tanyaku lirih. Dengan pandangan yang mulai rabun, aku dapat melihat ia duduk didepanku dengan mengacungkan pisau yang sudah berlumuran darah didepanku.
“Aku tak ingin memiliki hal yang sama seperti yang kau miliki” katanya, mendekatkan pisau ke wajahku, dengan cepat dia menggesekkan pisau itu ke kulit wajahku, membuat wajahku kini basah karena darah yang keluar.
Rasa sakit, rasa tidak tau apa yang harus dilakukan, dan rasa yang tidak tau kenapa semua ini terjadi bergelut dalam fikiranku, perlahan mataku mulai gelap, untuk bernafaspun semakin sulit.
“Cut!!! Yak.. acting kalian bagus sekali!! Syuting kita lanjutkan besok!!” kata sutradara menghentikan aktifitas kedua wanita yang dari tadi beracting horor.
“Sutradara.. maaf, aku.. benar-benar sudah membunuhnya. Ini bukan sekedar acting” kata perempuan yang memerankan si bayangan, menyungging senyuman yang sulit diartikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PengunjungKu