Senin, 14 Mei 2012

Hanya Sebuah Apel

Hai.. cerita ini sebenarnya sudah kualami saat aku duduk di bangku smp, tapi entah kenapa teringat kembali dan kebetulan aku ingin membaginya dengan kalian. ini kisahku...

By: Alifah Diantebes Aindra

_________________

            Sepulang sekolah ini, tak seperti hari-hari biasanya dimana aku langsung melesat pulang kerumah, karena tadi pagi, sebelum aku berangkat sekolah, ibu menyuruhku untuk membeli 2 kg apel siang ini. Dengan masih mengenakan seragam sekolah putih biru ku, aku berjalan mencari toko buah di pinggir pasar dimana ibu biasa membeli apel.
            “Mau beli apa mbak?” tanya ibu penjual buah ketika aku telah sampai didepan tokonya.
            “Beli buah bu..” jawabku polos, karena jujur saja, ini pengalaman pertamaku membeli buah.
            “Waduh.. mbak ini kok ada-ada saja.. ya jelas tho mbak kalau kesini pasti beli buah, maksud saya mbak mau beli buah apa?” tanyanya sekali lagi, ibu ini terkesan ramah pada calon pembelinya dengan menyunggingkan senyum.

            “Emm... mau beli apel bu” jawabku setengah meringis karena menyadari kepolosanku. “Apel yang ini 1 kg berapa?” tanyaku sambil menyodorkan sebuah apel berwarna merah muda segar. Dibanding apel berwarna hijau yang murah, atau apel yang berwarna merah darah yang mahal, keluargaku lebih menyukai apel merah muda yang harganya tak semahal apel merah darah itu.
            “Kalau apel yang itu Rp 20.000,-“ katanya singkat.
            “Oh.. saya beli 2 kg bu..” karena aku tak bisa menawar harga dan kebetulan uang yang ibu kasih memang pas untuk 2 kg. aku langsung menyetujui harga yang ibu penjual ini tawarkan.
            “Silahkan di pilih dulu mbak” sekali lagi ibu itu tersenyum sambil memberikan aku baskom untuk tempat apel.
            Aku memilih-milih apel yang akan kubeli dengan teliti, mulai warna, bentuk, dan ukuran. Satu persatu apel yang menurutku layak untuk dibeli aku letakkan kedalam baskom. Konsentrasi memilih apelpun terpecah saat ibu penjual buah itu menawarkan buah ke seorang anak perempuan kecil yang digandeng ayahnya.
            Kulihat mata anak perempuan itu berbinar senang ketika ayahnya mengangguk menyetujui untuk mampir membeli buah. Dari pakaian keduanya yang basah karena keringat, aku tau bahwa mereka sudah berjalan jauh diatas teriknya matahari siang ini. Sesekali sang ayah mengusap keringat putrinya yang membasahi kening.
            “Beli apa An?” tanya sang ayah penuh sabar.
            “Beli apel ya pak? Ani ndak pernah makan apel” kata anaknya polos dan dijawab dengan senyuman saja oleh sang ayah. Aku hanya bisa menyunggingkan senyum melihat kepolosan anak perempuan tersebut.
            “Ini..” kata ayahnya memberikan sebuah apel yang berwarna hijau dan bisa dibilang ukurannya sangat kecil dibanding apel-apel lainnya.
            “Pak, ani mau apel yang merah itu aja ya?” tangan kecil anak perempuan itu mulai menunjuk kearah tumpukan apel berwarna merah darah yang nampak segar.
            “Tapi itu mahal An.. yang ini saja ya? Kapan-kapan bapak belikan yang itu”
            “Ndak mau.. Ani mau apel yang itu” wajah anak perempuan yang tadinya ceria kini mulai nampak lesu.
            “Ya sudah.. ini” sang ayah sekali lagi menyodorkan apel, tapi tak seperti tadi, apel yang ia sodorkan merupakan apel yang sangat anaknya inginkan. “saya beli satu saja bu, harganya berapa?”
            “Tiga ribu rupiah pak” kata ibu penjual datar.
            “Woalah bu.. ndak bisa kurang? 2 ribu rupiah saja ya?” tawar bapak itu dengan sabar.
            “Ndak bisa pak, harganya memang segitu kalau beli eceran” kata ibu penjual itu tegas.
            “An.. uang bapak cuma tiga ribu, sedangkan rumah kita masih jauh, nanti kalau Ani kehausan gimana? Bapak ndak punya uang lagi untuk beli minuman lho, apelnya lain kali saja ya nak?” bujuk sang ayah sekali lagi.
            “Ani ndak haus kok pak, kan ada apel..” senyum anak perempuan itu terlukis di wajahnya dengan sempurna, ia memeluk erat apelnya takut ayahnya akan mengambil apel lezat itu darinya.
            “Ya sudah.. ini bu..” sang ayah kemudian menyodorkan uang tiga ribu rupiah satu-satunya yang ada di saku celananya dan berlalu pergi meninggalkan toko buah sambil tersenyum riang melihat anak perempuannya memakan apel yang baru saja ia beli.
            Aku yang daritadi melihat dan mendengar peristiwa itu hanya bisa melongo haru. Sebuah arti kata “ayah” kini telah kutemukan.

_________________

      Terima kaih untuk yang sudah membaca, aku harap ini bisa jadi inspirasi untuk kalian semua. walau terkesan sepele, perlu kita ketahui, orang tua kita pasti ingin yang  terbaik untuk anaknya walau tekadang hal tersebut harus ditunda karena suatu hal. ketika orang tua kita marah atau tak memberi apa yang kita mau, percayalah.. ada alasan yang masuk akal dibalik keputusannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PengunjungKu